Instruksi amp;quot;Viralkan Bencanaamp;quot; Memperkeruh Suasana

8 hours ago 2

Opini , Jurnalis-Minggu, 14 Desember 2025 |14:32 WIB

Instruksi "Viralkan Bencana" Memperkeruh Suasana

Lucia Ratu Persia Mahasiswa Pascasarjana Universitas Paramadina (foto: dok pribadi)

JAKARTA - Fenomena pejabat publik yang meminta masyarakat untuk memviralkan bencana kembali memicu perdebatan. Instruksi semacam ini hampir selalu muncul setiap kali terjadi banjir, longsor, atau gempa. Para pejabat kerap beralasan bahwa viralisasi diperlukan agar perhatian meningkat dan bantuan segera datang. Namun, di sisi lain, masyarakat mempertanyakan apakah wajar negara meminta warganya memviralkan musibah. Pertanyaan mendasarnya adalah: apakah instruksi ini benar-benar membantu, atau justru memperburuk respons bencana?

Dalam konteks komunikasi krisis, konsep “viralkan dulu” menunjukkan kegagalan dalam memahami fungsi komunikasi darurat. Seharusnya, negara hadir sebagai sumber utama informasi yang cepat, akurat, dan terverifikasi. Ketika pejabat justru meminta publik menyebarkan konten bencana, hal ini memberi sinyal bahwa sistem peringatan dini dan jalur komunikasi resmi belum berfungsi optimal. Warga akhirnya menanggung beban informasi, sementara lembaga pemerintah terlihat baru merespons setelah isu menjadi viral.

Teori Situational Crisis Communication Theory (SCCT) menjelaskan bahwa dalam krisis yang menyangkut keselamatan publik, pemerintah harus mengambil posisi instructing information dan adjusting information. Arthur W. Page Center menegaskan bahwa komunikasi efektif pada tahap awal krisis tidak boleh diserahkan pada narasi publik, karena emosi sering kali mengalahkan akurasi. Ketika pejabat meminta masyarakat untuk “memviralkan bencana”, pemerintah justru memindahkan tanggung jawab komunikasi darurat kepada pihak yang paling rentan melakukan kesalahan: warga biasa yang tidak memiliki kapasitas verifikasi.

Penelitian Coombs dalam Journal of Public Relations Research menunjukkan bahwa krisis yang ditangani tanpa komunikasi awal yang kuat berpotensi berkembang menjadi crisis intensification, yakni kondisi ketika opini publik bergerak lebih cepat daripada fakta. Inilah yang kerap terjadi ketika respons bergantung pada viralitas. Publik membagikan video, foto, dan potongan informasi tanpa memeriksa kebenarannya. Akibatnya, yang tersebar bukan hanya kondisi faktual, tetapi juga asumsi dan rumor. Pada titik ini, kerusakan reputasi pemerintah hampir tidak terhindarkan, karena publik melihat keterlambatan respons, meskipun tim di lapangan sebenarnya sedang bekerja.

Instruksi memviralkan bencana juga menimbulkan persoalan etis. Bencana bukan konten, dan korban bukan objek eksposur. Mereka adalah manusia yang kehilangan rumah, keluarga, dan rasa aman. Ketika pejabat meminta publik memviralkan kejadian ini, pesan yang muncul seolah mengubah tragedi menjadi materi kampanye solidaritas digital. Banyak warga akhirnya memotret korban tanpa izin, menyebarkan wajah-wajah yang sedang mengalami trauma, bahkan membangun narasi dramatis demi perhatian. Studi Sayce dan Hall (2020) dalam Disaster Studies Review mencatat bahwa dokumentasi bencana tanpa kendali dapat meningkatkan trauma sekunder pada penyintas. Ketika viralitas menjadi tujuan, empati kerap tergeser oleh kebutuhan untuk terlihat peduli.

Risiko lain yang tak kalah berbahaya adalah misinformation. Dalam situasi bencana, informasi yang keliru dapat memicu kepanikan dan menghambat proses evakuasi. Instruksi untuk memviralkan sesuatu mendorong publik membagikan konten secepat mungkin, sementara verifikasi membutuhkan waktu dan otoritas. Tak jarang beredar informasi lokasi bencana yang salah, angka korban yang keliru, atau video lama yang disebarkan ulang. Pemerintah pun akhirnya harus bekerja dua kali: menangani bencana fisik sekaligus meluruskan bencana informasi. Komunikasi yang buruk justru memperlambat respons lapangan.

Jalan Lintas Sumatera Lumpuh Akibat Banjir di Jambi

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari

Follow

Berita Terkait

Telusuri berita news lainnya

Read Entire Article
Desa Alam | | | |